Bincang Buku Sastra merupakan salah satu dari tiga kegiatan pada Progam Penguatan Komunitas Sastra yang ditaja Rumah Kreatif Suku Seni Riau. Ingatan Ikan-ikan karya Sasti Gotama menjadi buku pertama pada lima buku yang menjadi perhelatan ini. Bersama dua pembahas, Harry B Koriun sebagai novelis dan Alvi Puspita sebagai akademisi sastra mengisi bahasan yang dilaksanakan di Studio Suku Seni Riau (9/9).
Dimulai dengan sambutan dari Kepala Suku Seni Riau, Marhalim Zaini, yang menyampaikan bahwa program ini didukung oleh Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia. Juga, buku-buku dalam perhelatan Bincang Buku Sastra merupakan buku-buku pilihan Kementerian Kebudayaan. “Dengan nama Sasti Gotama yang karyanya mendapatkan penghargaan dan nominasi, sehingga hal ini patut untuk diperbincangkan,” jelas Kepala Suku Seni.
Harry B Koriun sebagai pembahas pertama mengemukakan pandangannya secara subjektif mengenai novel Ingatan Ikan-ikan. Lewat makalah yang ia jelaskan dengan judul Lara dan Trauma dalam Novel Ingatan Ikan-ikan, mengungkapkan akan posisinya sebagai pembaca. Yang mengangkat kisah perjuangan melawan lara dan trauma, meski demikian, konflik cerita dibalut dengan konspirasi besar tetang pembungkaman suara-suara dari para penyintas ataupun korban tragedi yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998.
Hal demikian juga, bagi Alvi Puspita yang menjelaskan lewat makalahnnya yang berjudul Tubuh Perempuan sebagai Arsip Luka, bahwa karya Sasti Gotama membentangkan tanya tentang ontologi ingatan. Keberadaan ingatan yang tidak hanya sebagai rekaman psikologis, namun juga kontruksi kultural, historis, dan politis yang terus hidup dalam tubuh, ruang, serta narasi.
Dua sudut pandang yang dikembangkan oleh pembahas, perbincangan pun dimulai lewat pertanyaan dan tanggapan dari para peserta yang hadir. Pramudia Pangestu salah satunya. Pramudia mempertanyakan akan upaya yang bisa dilakukan hari ini jika menelaah dari novel Ingatan Ikan-ikan? Menjawab hal tersebut, Alvi Puspita menjelaskan akan banyak hal yang bisa untuk dilakukan dan tentunyan sulit.
Apalagi berhadapan dengan Penatu Binata seperti dalam Ingatan Ikan-ikan, yang merupakan gerakan organsisasi bawah tanah yang dengan masif melakukan pembungkaman suara. Hal demikian perlu dilakukan kehati-hatian. Salah satu peserta lainnya, Zahra, juga menanggapi bahwa diskusi fiksi dengan latar belakang pada tragedi masa lalu bisa sebagai pengingat dan pemantik. Ia juga menekankan bahwa, “Membaca juga bisa berarti melawan”.
Perbincangan pun terus berkembang, Joni Hendri mempertanyakan akan seberapa kuat tekanan yang dialami tokoh Lian, tentang seberapa berat trauma yang ia derita sehingga menenangkan dirinya lewat mengetuk-mengetuk dengan jarinya? Menanggapi hal tersebut, Alvi Puspita melihatnya bahwa pemantik trauma ini bisa datang secara tiba-tiba dengan masa-masa tertentu. Alvi juga menambahkan bahwa, “Pada bagian belakang bukunya, Sasti juga mengungkapkan akan hal tersebut termasuk tentang trauma itu sendiri”.
Perbincangan terus berlanjut pada beberapa peserta lainnya, hingga pada Kepala Suku Seni yang menanggapi akan keseluruhan perbincangan sastra lewat Ingatan Ikan-ikan yang menekankan bahwa pada masa sekarang ini banyaknya distraksi yang kompleks. Sejak dahulu, para sastrawan juga melawan dan perbincangan ini sebagai wujud perlawanan yang ‘kembali ke akar’. “Sastra akan bisa menggerakkan, dan hal itu akan terjadi jika kita membaca,” tutupnya. (H2M)
© 2025 Rumah Kreatif Suku Seni Riau